Sabtu, 10 Juli 2010

Perspektif Balanced Scorecard dalam Pengelolaan Pendidikan

A. Perspektif Balanced Scorecard Balanced Scorecard (BSC) merupakan pendekatan baru terhadap manajemen, yang dikembangkan pada tahun 1990-an oleh Robert Kaplan (Harvard Business School) dan David Norton (Renaissance Solution, Inc.). Pengakuan atas beberapa kelemahan dan ketidakjelasan dari pendekatan pengukuran kinerja keuangan sebelumnya, BSC menyajikan sebuah perspektif yang jelas sebagaimana sebuah perusahaan harus mengukur supaya tercapai keseimbangan perspektif keuangan. Kaplan dan Norton merangkum rasional untuk BSC sebagai berikut. BSC tetap mempertahankan pengukuran keuangan tradisional. Tetapi pengukuran keuangan menceritakan kejadian masa lalu, suatu laporan yang cukup untuk era industri untuk kemampuan investasi jangka panjang dan relationship pelanggan tidak secara kritis untuk keberhasilan. Pengukuran keuangan adalah tidak layak, bagaimanapun juga, untuk memandu dan mengevaluasi suatu perjalanan yang mana perusahaan pada era informasi harus membuat suatu nilai masa depan melalui investasi dalam pelanggan, pemasok, pekerja, proses, teknologi, dan inovasi.

BSC menyarankan bahwa kita melihat suatu kinerja organisasi dari empat perspektif berikut: (1) The Learning and Growth Perspective, (2) The Business Process Perspective, (3) The Customer Perspective, dan (4) The Financial Perspective. 1. Learning and Growth Perspektive Kategori-kategori yang terdapat dalam perspektif ini teridiri atas kemampuan karyawan; kemampuan sistem informasi; dan motivasi, pemberdayaan, serta kesesuaian dengan standard kinerja. Ukuran intinya adalah produktivitas karyawan, yang diukur dari: jumlah output tiap karyawan, tingkat kepuasan karyawan, tinggi rendahnya pengakuan terhadap prestasi karyawan, tingkat keterlibatan karyawan dalam proses pengambilan keputusan, kemudahan akses karyawan terhadap informasi yang menunjang pekerjaannya, dan tingkat retensi atau penolakan karyawan, yang diukur dari jumlah perputaran (turn over) staf atau karyawan potensial. 2. Internal-Business-Process Perspective Dalam perspektif internal-business-process, manajer mengenali proses-proses kritis pada yang mana mereka harus unggul jika mereka akan mencapai tujuan-tujuan dari shareholder dan segmen
pelanggan yang menjadi target. Sistem pengukuran performans konvensional fokus hanya pada monitoring dan peningkatan biaya, mutu, dan waktu yang didasarkan pada proses bisnis yang ada. Secara jelas, pendekatan dari BSC memungkinkan permintaan untuk performans proses internal untuk menurunkan harapan-haran khusus dari pihak
eksternal perusahaan. 3. Customer Perspective Perspektif Pelanggan ini menggambarkan tampilan perusahaan di mata pelanggan. Hal ini merupakan konsekuensi dari tingkat persaingan usaha yang makin ketat, sehingga perusahaan dituntut memahami kebutuhan pelanggannya (customer driven company) Ukuran utama dari perspektif pelanggan
adalah market share, custumer acquisition, custumer retention, customer satisfaction, dan customer profitability. Kelima buah ukuran ini tidaklah terpisah-pisah, melainkan memiliki saling keterhubungan. Keterhubungannya dapat digambarkan sebagai berikut. 4. Financial Perspective Tujuan finansial menyajikan suatu fokus untuk tujuan dan ukuran dalam seluruh perspektif BSC. Setiap ukuran dipilih harus menjadi bagian dari suatu hubungan sebab-akibat yang memuncak dalam peningkatan performans keuangan. BSC harus menguraikan tentang strategi, dimulai dengan tujuan finansial jangka panjang, dan kemudian keterkaitannya terhadap bagian-bagian tindakan yang harus diambil dengan proses finansial, pelanggan, internal proses, dan terakhir karyawan dan sistem untuk mengantarkan performans ekonomis jangka panjang yang diharapkan. Walaupun bergantung pada daur hidup industrinya, tujuan strategi
perspektif keuangan pada umumnya terkait pada upaya: peningkatan pendapatan, pengurangan biaya atau peningkatan produktivitas, dan utilisasi aset perusahaan. A. Implementasi BSC dalam Pengelolaan Perguruan Tinggi Dilihat dari Aspek Pembiayaan Pendidikan PTS dapat dipandang sebagai suatu unit bisnis strategis (Strategic Busines Unit-SBU). Sebagai suatu SBU, kinerja PTS seringkali dilihat dari ratio keuangan yang sering hanya memberi perspektif hasil usaha saat ini. Ratio ini hanya memberi fokus pada pencapaian hasil keuangan jangka pendek. Untuk pengkajian tentang hal ini diadopsi suatu cara pengukuran kinerja majemen dari Balanced Scorecard (BSC), yang penulis terjemahkan menjadi Pengukuran Keseimbangan Kinerja (PKK). Alat ukur ini merupakan metoda penilaian kinerja unit usaha yang melengkapi ukuran kinerja keuangan masa lampau dengan pemacu kinerja unit usaha di masa depan. Dengan demikian, kinerjakeuangan bukan menjadi satu-satunya alat ukur. Di dalamnya terdapat berbagai macam perspektif non-keuangan seperti kualitas dan kapabiltas sumberdaya manusia, produktivitas proses penyelenggaraan, dan kepuasan atas pelayanan manajemen, yang harus dikembangkan secara seimbang. Keseimbangan kinerja yang dimaksudkan adalah keseimbangan diantara empat perspektif yang dikemukakan di atas. Keterkaitan keempat perspektif di dalam keseimbangan kinerja, dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini. Gambar 1 Keseimbangan Kinerja Berdasarkan gambar tersebut di atas, dapat diilustrasikan kemungkinan kineja penyelenggaraan pendidikan sebagai berikut. Kinerja lebih terpusat ke orang, bila dalam penyelenggaraan pendidikan lebih memberikan penekanan secara strategis kepada layanan sumberdaya manusia, seperti program penambahan kuantitas dan kualitasnya, dan peningkatan komitmen dan
dedikasi melalui peningkatan kesejahteraan; dan peningkatan kualitas layanan kepada mahasiswa, seperti dengan pemberian subsidi. Dengan penekanan ke orang ini, secara otomatis akan terabaikannya manajemen terhadap proses karena sumberdaya yang dimiliki lebih terserap oleh layanan kepada sumberdaya manusia dan mahasiswa. Demikian pula sebaliknya, bila kinerja proses lebih banyak mendapat penekanan, seperti dilakukakannya efisiensi sumberdaya dan peningkatan financial return akan berakibat terabaikannya layanan kepada sumberdaya manusia, seperti penurunan
kesejahteraan, dan layanan kepada mahasiswa, seperti meningkatnya biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh mahasiswa. Kinerja lebih terpusat ke internal manajemen, seperti lebih meningkatkan efektivitas dan efisiensi sumberdaya, dan peningkatan layanan kepada sumberdaya manusia, seperti peningkatan kesejahteraan akan berakibat
terabaikannya kinerja layanan kepada mahasiswa dan kinerrja kuangan. Demikian pula sebaliknya, bila kinerja terlalu diorientasikan kepada eksternal manajemen, seperti pemompaan kinerja keuangan dan peningkatan layanan kepada mahasiswa akan mengakibatkan faktor inernal manajemen terbaikan. Berdasarkan hal tersebut di atas, yang menjadi alasan kenapa dilakukan pengadopsian BSC menjadi PKK adalah sebagai berikut: 1. BSC tidak hanya memfokuskan pada ukuran keuangan semata, tapi juga memperhatikan sejumlah ukuran yang terintegrasi mulai dari kualitas dan kapabilitas sumber daya manusia; kualitas proses penyelenggaraan pendidikan, kepuasan layanan untuk pencapaian kinerja keuangan dalam jangka panjang; dan 2. BSC memberi gambaran operasi secara menyeluruh, sehingga perbaikan di satu aspek tidak merugikan aspek lainnya. Dengan kata lain, BSC bukan merupakan sekumpulan ukuran finansial dan non-finansial saja melainkan terkait pula dengan peningkatan mutu sumber daya manusia, proses penyelenggeraan, dan kepuasan atas pelayanan yang secara keseluruhan harus berdampak pada peningkatan kinerja keuangan. B. Kebijakan Biaya dan Mutu Penyelenggaraan Pendidikan Adapun tentang keterkaitan antara kinerja manajemen dengan kewajaran biaya yang dibebankan kepada mahasiswa. Keterkaitan antara dua hal ini didasarkan pada suatu dugaan sementara, bahwa mutu penyelenggaraan pendidikan
memiliki hubungan timbal balik dengan kewajaran biaya pendidikan yang dibebankan kepada mahasiswa. Berikut ini keterangan untuk Gambar 2. 1. Identifikasi Biaya Mutu. Pembebanan biaya dan perhitungan biaya harus dilakukan secara cermat dan hati-hati, karena biaya merupakan faktor penting dalam memenangkan persaingan. Mahasiswa akan
memilih perguruan tinggi yang mampu menghasilkan layanan akademik yang memiliki mutu tinggi dengan harga yang termurah. Harga murah hanya dapat dihasilkan oleh perguruan tinggi yang secara terus menerus melakukan perbaikan terhadap aktivitas-penambah nilai (value-added activities), dan yang senantiasa berusaha menghilangkan aktivitas bukan penambah nilai (non-value-added activities). Dengan demikian, cost effectiveness menjadi salah satu faktor untukmemenangkan persaingan jangka panjang. 2. Identifikasi Sumber Dana. Perguruan tinggi harus mampu menghasilkan layanan akademik yang bermutu dengan harga yang rendah untuk dapat tetap bertahan di pasar. Perguruan tinggi berlomba untuk menghasilkan layanan akademik yang bermutu dengan harga yang rendah dengan berpedoman bahwa mahasiswa hanya dibebani dengan biaya- biaya untuk aktivitas-penambah nilai (value-added activities). Dengan demikian dalam persaingan yang semakin tajam, manajemen memerlukan informasi biaya yang teliti, yang memperhitungan secara cermat sumber dana (resources) yang dikorbankan untuk aktivitas penambah nilai bagi mahasiswa. Sumber dana ini dapat berasal dari modal sendiri, dana pihak ketiga, dan dari masyarakat. 3. Struktur Pentaripan. Dengan
semakin mudahnya mahasiswa memperoleh informasi mengenai mutu, harga, dan peringkat akreditasi, maka mahasiswa hanya memilih perguruan tinggi yang mampu memberikan layanan akademik yang sesuai dengan kebutuhannya, dengan harga yang terendah diantara harga berbagai yang ditawarkan oleh perguruan-perguruan tinggi. Keadaan ini memaksa para penyelenggara perguruan tinggi hanya membebani mahasiswa dengan harga yang benarbenar wajar. Dalam situasi seperti ini, struktur pentaripan harus ditentukan berdasarkan biaya penuh layanan akademik yang dihitung secara cermat. 4. Biaya yang Dibebankan kepada Mahasiswa. Titik berat strategi untuk memenangkan
persaingan yaitu pada usaha-usaha untuk menghilangkan non-value added activities. Non-value added activities merupakan aktivitas yang tidak seharusnya menjadi beban mahasiswa, sehingga seharusnya dihilangkan dari proses/aktivitas. Dengan demikian, manajemen memerlukan informasi biaya penuh yang dikaitkan dengan berbagai aktivitas untuk mempertahankan dan memperbaiki mutu layanan agar sesuai dengan mutu yang diharapkan oleh mahasiswa sebagai pemakai layanan. 5. Mutu Penyelenggaraan. Agar mahasiswa terjamin hanya akan dibebani dengan biaya yang wajar, maka penyelenggara pendidikan harus senantiasa melakukan penyempurnaan aktivitas secara berkesinambungan (continual improvement) yang digunakan untuk menghasilkan layanan pendidikan. Pengumpulan informasi biaya penuh masa lalu ditujukan untuk memberikan kemudahan dalam menghilangkan berbagaipemborosan yang terjadi dalam aktivitas untuk menghasilkan layanan pendidikan. Ukuran mutu yang digunakan ditetapkan berdasarkan empat perspektif, yaitu kualitas dan kapabilitas personal, kualitas proses penyelenggaraan, layanan kepada mahasiswa, dan kinerja keuangan. Berdasarkan identifikasi masalah di atas, terdapat empat buah variabel yang berhubungan. Keterhubungan variabel tersebut dapat dilihat pada cabang dari kotak nomor 5, yaitu
Penyelenggaraan Pendidikan Gambar tersebut didasarkan pada suatu anggapan bahwa organisasi pada hakikatnya adalah sekelompok orang yag memiliki ketergantungan satu dengan lainnya, yang secara bersama-sama mefokuskan usaha mereka untuk mencapai tujuan atau tugas tertentu yang telah disepakati. C. Kesimpulan Jika kualitas personal atau sumberdaya manusia telah ditingkatkan melalui pembangunan human capital, langkah selanjutnya adalah memanfaatkan human capital tersebut untuk membangun organizational capital dengan mendesain dan mengoperasikan organisasi dan proses yang cost effektive yang diintegrasikan dengan upaya menghasilkan value bagi
mahasiswa sebagai customer. Melalui organizational capital, human capital dimobilisasikan secara sinergistik untuk menghasilkan value bagi mahasiswa sebagai customer yang pada akhirnya secara sendiri-sendiri atau bersama-sama akan mewujudkan kinerja keuangan jangka panjang. DAFTAR BACAAN Arco, Jerome S., 1995, Quality in Education, St. Lucie Press, Florida. Asep Hidayat, 1992, Tesis: Strategi Penerimaan Siswa Baru di SMA Swasta, FPS IKIP Bandung Berstecher, DG, 1974, Financial Analysis and Creating of Educational Plans, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organizations, Paris. Buchori Alma, 1991, Desertasi: Strategi Alternatif Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dalam Menarik Calon Mahasiswa, FPS IKIP Bandung. Coombs, Philip H., 1967, What is Educational Planning, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organizations, Paris Engkoswara, 1987, Dasar-dasar Administrasi Pendidikan, Proyek Pengembangan LPTK, Jakarta Fakry Gaffar, Mohammad, 1987, Perencanaan Pendidikan: Tiori dan Metodologi, FPS IKIP Bandung Hallak, J, 1967, The Analysis of Educational Cost and Expenditure, terj. Harso, United
Nations Educational, Scientific and Cultural Organizations, Paris Kaplan, Robert S., Norton, David P., 1996, The Balanced Scorecard, Harvard Business School Press, Boston, Massachusetts McConcey, Dale D., 1975, MBO for Nonprofit Organization, terj. Mohamad Masud, Amacom, USA Mulyadi, 1996, Akuntansi Biaya: Peranan Biaya dalam
Pengambilan Keputusan, BPFE UGM, Yogyakarta Oteng Sutisna, 1987, Administrasi Pendidikan: Dasar Teoritis untuk Praktek Profesional, Angkasa, Bandung Peppard, Joe., Rowland, Philip., 1995, The Essence of Business Process Reengineering,
Prentice Hall Inc., Englewood Cliffs, Ney York Psacharopoulos, George; Woodhall, Maureen, 1991, EDUCARE: Jurnal Pendidikan dan Budaya http://educare.e-fkipunla.net Generated: 30 April, 2008, 08:04 Education for Development, an Analysis of Investment Choices, World Bank Publication, Washington

Tidak ada komentar:

Posting Komentar